Pernahkah kalian membuat jurnal/diary/catatan harian? Saat ini mungkin sudah cukup ketinggalan zaman, ya? Perannyapun sudah diambil alih oleh platform blog seperti wordpress dan blogspot serta microblogging seperti twitter.
Namun siap menulis di dalam platform online artinya kita siap membagikan pemikiran kita kepada seluruh dunia, (atau kepada circle terdekat kita, tergatung setelan privasi yang kita pilih). Artinya juga kemungkinan besar akan ada feedback berupa dukungan ataupun bantahan. Ada yang tersanjung ataupun tersinggung. Ada yang mengerti, tapi tak sedikit pula yang menyalaharti.
Jika kita menyadari adanya implikasi itu, tentunya akan ada proses bernalar yang cukup panjang sebelum akhirnya kita mempublikasikan tulisan kita. Bukan tidak mungkin kita malah jadi merasa ragu dan merasa buah pemikiran kita tak cukup penting dan berbobot untuk dipublikasikan. Kita juga mungkin merasa minder dan malu karena kosakata kita yang terbatas dan ejaan kita yang sering gawal.
Pada akhirnya, bisa saja semua proses bernalar itu membuat tulisan kita tak lagi menjadi tulisan yang jujur. Setidaknya tak jujur untuk diri kita sendiri.
Jalan saya agar bisa menulis dengan dengan jujur adalah membuat jurnal/diary yang ditulis dengan pena (tulisan tangan). Selain jauh lebih cepat daripada mengetik, rasanya semua uneg-uneg lebih lancar tersalurkan dibandingkan dengan mengetik.
Kebanyakan dari kita mungkin sudah menulis dan memiliki diary semenjak Sekolah Dasar. Saya agak terlambat, karena baru memulainya saat kelas tiga SMA (2007). Saat itu saya punya sebuah ide yang sepertinya bagus untuk dijadikan novel. Tapi karena sudah lama sekali sejak saya terakhir menulis, jadi saya memutuskan untuk “pemanasan” dengan cara menulis jurnal.
Saya kemudian membeli dua buah buku. Buku pertama digunakan sebagai buku konsep untuk novel, sementara buku kedua digunakan sebagai jurnal harian.
Buku yang saya beli untuk dijadikan jurnal sangat fancy. Bukunya bersampul kulit imitasi dan terdapat ritsleting yang bisa digunakan untuk mengamankan isinya. (Sebenarnya percuma karena nggak ada kuncinya).
Berhubung saat itu saya masih berusia 17 tahun, yaitu ABG yang sedang sejadi-jadinya. Isi di dalam jurnal itu tak jauh dari masalah perempuan dan percintaan, sambil sesekali diselingi kegalauan masa-masa menjelang Ujian Nasional. Ada juga sih puisi-puisi yang mungkin sebagian sudah diunggah di blog ini. (Tak usah dicek, isinya puisi picisan semua.)
Buku itu sebenarnya tidak terlalu tebal, tapi butuh waktu tiga tahun hingga penuh terisi sampai ke halaman terakhir. Tahun 2009 saya membeli buku baru. Kali ini desainnya lebih sederhana, namun bukunya lebih tebal. Buku kedua kalau tidak salah habis tahun 2011.
Ketika lulus kuliah dan berpindah-pindah tempat kerja, buku pertama hilang ….
Tahun berlalu. Tiba-tiba saya sudah bukan ABG lagi, juga bukan mas-mas yang suka digebet oleh anak magang di kantor. Sekarang sebagian sudah memanggil saya dengan sebutan bapak. Dalam sebuah kesempatan mengobrol bersama kawan dekat, topik obrolan menyinggung ke arah masa lalu dan percintaan.
Saya kembali teringat tentang gadis di SMP saya itu. Di dalam ingatan saya, kisah dengannya berakhir begitu saja. Saya begitu yakin bahwa kisah itu adalah kisah unrequited love, dimana kami bersahabat dekat tanpa pernah ada kata-kata cinta yang terucap. Life happens dan kami pelan-pelan menjauh hingga akhirnya kembali menjadi orang asing satu sama lain, tanpa sempat saya mengutarakan perasaan saya kepadanya.
Itu yang selalu saya percayai selama ini. Tapi ternyata beberapa waktu yang lalu saya tak sengaja menemukan buku itu. Saya lalu membuka-buka dan membaca isinya kembali. Saya terkejut karena ternyata ada satu kejadian di mana saya pernah menyatakan cinta kepadanya.
Bagi saya revelasi itu sangat mengejutkan, karena ternyata narasi yang selama ini saya bangun di dalam kepala saya salah. Ingatan saya ternyata tak benar-benar bisa dipercaya.
Mau tak mau saya jadi memikirkan berbagai macam highlight kejadian yang selama ini tersimpan di dalam kepala saya dan sering saya ceritakan kepada orang lain.
Apakah kejadian itu benar-benar terjadi? Apakah kejadiannya sudah sesuai dengan apa yang saya ingat?
Mungkin tak ada yang bisa memastikannya.
Kecuali jika kita pernah menuliskannya.
Bandar Lampung, 14 Desember 2020
Dalam terminologi psikologi, hal ini disebut dengan confabulation. Yaitu kondisi dimana otak kita mengisi ingatan kita yang berlubang dengan ingatan palsu. Kita benar-benar menganggapnya sebagai kenyataan dan kita tidak sadar dengan kondisi tersebut sampai ada sesuatu atau seseorang yang menyadarkan kita.