11 November 2020, kala sedang menumpang kapal yang tengah menyebrangi Selat Sunda, ponsel saya tiba-tiba bergetar. Saya yang sedang duduk bersantai di dek atas, beringsut ke sisi kapal, menyingkir dari keriuhan canda dan obrolan penumpang lain.

Ada pesan masuk dari seorang kawan seangkatan. Isinya lugas, menawarkan kesempatan untuk ikut seleksi tertutup sebuah tim (kita sebut tim A). “Supaya bisa kembali ke Jakarta bareng keluarga,” ajak kawan saya itu.

Saya memang sudah mendengar rumor seleksi tertutup itu selama beberapa waktu, termasuk berbagai sisi positif dan negatifnya.

Saya juga sudah menyiapkan jawaban, jikalau secara ajaib suatu hari tawaran tersebut saya terima. Rupanya tawaran itu benar-benar saya terima.

Bagi saya, rasanya terlalu banyak trade off negatif jika saya masuk ke dalam tim A tersebut. Terlalu banyak kebahagiaan yang saat ini tengah saya nikmati harus hilang, jadi saya terpaksa menolaknya.

Setelah kembali ke bagian tengah dek, saya baru terpikir bahwa kesempatan itu bisa jadi jauh lebih bermanfaat untuk salah satu kawan saya, yang sudah bertahun-tahun berjuang untuk kembali ke Bandung dari tanah Celebes.

Biar saya rangkum perihal kawan saya ini, yang bagi saya sosoknya bersinonim dengan kata optimisme dan perjuangan.

If shits pouring down upon earth, he’ll make fertilizer out of it, (and probably sell it).

Saya sudah berkali-kali melihatnya jatuh-bangun menjalani hidup. Dalam hal ekonomi, pendidikan, juga asmara. Dia selalu bergeming, menyerap semua pahit-manis itu tambahan pengalaman hidup yang berharga (dan tambahan berat badan).

Kebalikan dari saya yang sering berperilaku konservatif, kawan saya ini risk taker. Either you win, or you learn, sahutnya suatu hari, sok keren. Saya melihatnya sebagai spesimen manusia yang mengagumkan (dan aneh).

Saya langsung menghubunginya.

Dia tertarik, walaupun ragu-ragu dengan salah satu syarat tim A: profisiensi berbahasa inggris. Tapi setelah diyakinkan bahwa dia punya cukup banyak waktu untuk mempersiapkan diri, akhirnya dia bersedia.

Berselang beberapa waktu, dia mengatakan bahwa sedang dalam tahap persiapan, dan namanya termasuk ke dalam kandidat kuat. Bagaimana tidak, predikat pegawai teladan dan segudang referensi positif sudah dia miliki.

Bagi dirinya yang tidak terlalu paham dengan masalah database, server, dan ilmu infrastruktur jaringan lainnya, tahap persiapan tim A itu sangat melelahkan, membingungkan, dan menguras tenaga. Belum lagi waktu meeting yang tidak mengenal kata libur.

Beberapa bulan berlalu, tiba-tiba suatu hari kawan saya itu menghubungi. Dia mempertimbangkan untuk mundur dari seleksi tim A. Bukan karena menyerah, tetapi karena ternyata ada lowongan tim B, yang menurutnya lebih cocok dengan latar belakang pekerjaan dan penguasaan materi.

Obrolan itu sebenarnya membuat saya heran, karena di tim A yang berisi 5 orang, akan dipilih 2 orang untuk masuk. Sementara di tim B dia harus mengalahkan 30 orang untuk bisa terpilih.

Dilihat dari sisi kemungkinan, tentu saja di tim A jauh lebih baik.

Argumen saya saat itu adalah: tujuan utama kamu apa? pindah ke jakarta atau cari pekerjaan yang lebih nyaman? Saat ini bukankah yang lebih penting adalah mendekatkan diri dengan lokasi keluarga?
Argumen dia saat itu adalah: Ada kemungkinan saya bisa pindah ke jakarta dengan tetap memiliki pekerjaan yang nyaman.

Saya menyerah. Saya hanya memintanya mempertimbangkan baik-baik sekali lagi, walaupun rasanya saya sudah tahu apa keputusannya.

Benar saja, tak lama kemudian dia mengabarkan bahwa dirinya sudah mundur, dan ikut seleksi tim B. Pada tahap ini selain menyayangkan keputusannya, yang bisa saya lakukan tentu saja mendukung keputusan dan ikut mempersiapkan seleksi yang akan dia lakukan.

Namun sebagaimanapun saya heran dengan keputusannya saat itu.

Hari ini, 31 Mei 2021, dia dinyatakan masuk ke dalam tim B.

gambar sampul: Photo by Dominik Scythe on Unsplash

Bagikan
Ikuti
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
Lihat semua komentar
0
Beri Komentarx
()
x