[Fiksi] – Getihwesi (VI)

Astri terisak. Dia meringkuk di dalam sebuah ceruk kecil di bibir tebing. Kakinya terasa ngilu karena dipaksa berlari, Bagian lengan dan kakinya yang tidak tertutup pakaian perih karena tergores oleh duri dan ranting-ranting pohon. Astri masih berusaha untuk mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi. Kenapa tiba-tiba Yanti ingin membunuhnya?

Pelan-pelan matanya melirik ke arah Yanti. Sejauh ini tubuh Yanti masih terkapar tak bergerak. Darah segar tampak mengalir dari pelipisnya, merembes ke permukaan tanah dan rerumputan. Astri tak ingin tahu Yanti masih hidup atau sudah mati, dia tak peduli. Dia hanya ingin segera pergi dari tempat ini.

Namun dia tidak bisa gegabah bergerak. Astri melirik ke depan. Beberapa meter dari ceruk tempatnya meringkuk, sesosok pria tampak berdiri mematung. Astri hanya bisa melihat sebagian dari tubuh pria itu, sebagian lainnya tersembunyi di balik bayangan pepohonan. Tapi Astri tahu pasti siapa pria itu.

Pria itu adalah Wawan, orang yang disebut ‘miring’ oleh Kusumo.

Continue reading “[Fiksi] – Getihwesi (VI)”

[Fiksi] – Getihwesi (V)

Yanti tak habis pikir. Setelah segala hal dia lakukan untuk melupakan sejenak masalah hidupnya, dia malah harus berurusan dengan Astri.

Tak digubrisnya Parmin yang menggeliat-geliat di tanah sambil mengerang kesakitan. Dia juga tak peduli dengan dua pria lainnya yang sedang berdiri terpaku di dekat semak belukar. Kedua matanya tajam menatap Astri, tanpa berkedip.

Dia bisa merasakan tiap tetes darah Parmin yang menempel di wajah, pakaian, tangan, serta parang yang digenggamnya. Tiap bulir darah yang menetes ke tanah membuat dadanya semakin panas, semakin bersemangat.

Tiap detik yang berlalu terasa sangat lama. Tak ada seorangpun yang bergerak. Mereka semua menyadari bahwa salah langkah sedikit saja bisa membuat nyawa mereka terancam.

Napas Yanti kian memburu.

Harus ada yang mulai bergerak, pikir Yanti. Jika Astri tak mau, berarti aku …

Continue reading “[Fiksi] – Getihwesi (V)”

[Fiksi] – Kisah Raja Pemalas & Angket Sang Wazir

Alkisah pada zaman dahulu kala, di sebuah tempat nun jauh di sana, tersebutlah sebuah kerajaan yang masyhur. Sayangnya kerajaan itu dipimpin oleh seorang Raja muda yang pemalas.

Sudah menjadi tradisi turun-temurun di kerajaan itu, bahwa pintu kastel akan dibuka dari pagi hingga siang hari agar penduduk bisa mengadakan pertemuan langsung dengan Sang Raja. Keperluan apapun diperbolehkan. Entah itu menyelesaikan sengketa ladang, meminta sumbangan perak dan emas untuk modal berdagang, berkeluh-kesah tentang tetangga yang usil dan jalanan berlubang yang tak kunjung diperbaiki, meminta Sang Raja memberikan berkat untuk anak-anak mereka agar lulus ujian jadi hulubalang kerajaan, ataupun sekadar bercakap-cakap dan bergosip dengan Sang Raja. Perkara apapun itu, pintu kastel akan selalu terbuka bagi para penduduk.

Setiap harinya, sejak cahaya mentari pertama menyinari menara kastel, di gerbang kastel penduduk kerajaan sudah ramai mengantre. Setiap hari pula Sang Raja muda membuka jendela kamarnya yang berada di menara sambil mengeluh.

“Aduh, tak pernah ada habisnya masalah penduduk kerajaan ini. Kuselesaikan satu hari ini, esoknya bertambah lima.”

Sang Raja selalu mencari cara untuk melarikan diri dari kewajibannya. Dari mulai berpura-pura sakit perut, pura-pura linglung, hingga mencoba kabur keluar istana dengan menyamar menjadi tukang kebun kerajaan. Setiap hari ada saja ulahnya yang membuat Sang Wazir dan seluruh pejabat kerajaan kerepotan.

Sang Wazir bekerja di dekat pintu masuk ruang tahta. Di balik sebuah meja yang dipenuhi dengan tumpukan kertas. Bisa dibilang Sang Wazir adalah orang yang paling sibuk di kerajaan. Setiap kali ada orang yang selesai bertemu dengan Sang Raja, dia akan memberikan selembar kertas kepada orang itu, dan meminta mereka untuk mengisinya.

“Apa ini?” tanya mereka setiap kalinya.

“Angket Kepuasan Layanan Kerajaan. Kami selalu berusaha untuk menjaga tingkat kepuasaan penduduk agar selalu di atas 95%,” jawabnya setiap kali.

*

Continue reading “[Fiksi] – Kisah Raja Pemalas & Angket Sang Wazir”

[Fiksi] – Taman Tamasya Tak Hingga

Milo sedang menyeduh secangkir kopi ketika menyadari layar monitornya berpendar. Milo menoleh, tapi dia tampak ragu-ragu. Dia menelengkan kepalanya sedikit, sembari memperhatikan kerlap-kerlip cahaya yang muncul di layar monitor. Milo ingat bahwa terakhir kalinya benda itu berpendar adalah 58.347 hari yang lalu. Jadi bisa dibilang sudah cukup lama. 

Continue reading “[Fiksi] – Taman Tamasya Tak Hingga”

[Fiksi] – Bangku Kosong

Pada hari itu, Romi memutuskan untuk pulang lebih awal. Kepalanya pening seperti mau pecah. Walau begitu, dia tidak ingin ke dokter, dia hanya ingin merebahkan diri di kasurnya yang empuk.

Ketika dia melangkahkan kaki keluar dari pintu depan kantor, jam di tangannya baru menunjukkan pukul setengah lima sore.

Dia menyusuri trotoar di sepanjang jalan besar, menuju ke halte bus tempat dia biasa naik.  Bagi Romi yang setiap hari selalu pulang kerja larut malam, pemandangan sore hari malah terasa amat ganjil.

Continue reading “[Fiksi] – Bangku Kosong”

[Fiksi] – Getihwesi (IV)

Beberapa hari yang lalu, saat timnya memutuskan untuk menyelidiki fenomena gunung berapi Laduwesi, salah seorang senior di kantor mendatangi kubikel Rendy. Seniornya itu adalah pria paruh baya dengan rambut dan kumis tebal yang mulai berwarna putih. Sambil mengembuskan asap rokok, senior itu berbicara pelan-pelan di dekat telinganya.

Kalian enggak usah ke sana, percuma. Hampir semua peneliti lama di sini sudah tahu soal fenomena di gunung Laduwesi, tapi mereka membiarkan saja. Penelitian kalian hanya akan menambah pertanyaan daripada jawaban. Ada banyak hal ganjil terjadi di sana, hal mistis dan di luar akal sehat, salah-salah kalian semua enggak bisa pulang.

Pria itu juga mengatakan bahwa kawah Laduwesi hanya aktif setiap selama satu minggu setiap tiga tahun sekali. Setelah ada aktivitas vulkanik kecil, gunung itu akan tertidur lagi.

Mirip seperti binatang yang sedang hibernasi, ujar seniornya itu, sambil kembali mengembuskan asap rokok.

Continue reading “[Fiksi] – Getihwesi (IV)”

[Fiksi] – Getihwesi (III)

Mimpi tentang kakaknya selalu dimulai dengan pemandangan yang sama. Gunung Vesuvius meletus; menggelegar, melahap seluruh penduduk kota Pompeii. Sementara dia dan kakaknya melayang di angkasa, memerhatikan semua itu dari kejauhan. Teriakan putus asa dan rintih kesakitan memekakan telinganya. Udara terasa pengap dan panas. Langit di atasnya merah, dan daratan di bawah membara. Pada titik ini kakaknya akan menoleh dan tersenyum.

Semua hal yang diberikan bisa diambil lagi, ingat itu, bisik kakaknya lirih.

Biasanya mimpinya akan berakhir di situ. Tapi kali ini tidak, Astri bisa merasakan bau mayat-mayat yang terbakar, serta bangunan-bangunan dan bebatuan yang meleleh. Dia bisa mencium dengan jelas,

bau amis darah dan besi memenuhi udara …

Continue reading “[Fiksi] – Getihwesi (III)”

[Fiksi] – Kincir Angin

Dua minggu yang lalu aku berpapasan dengan seorang lelaki tua.

Tubuh lelaki tua itu terlihat ringkih. Wajahnya bertekuk. Dia berjalan tertatih menyusuri trotoar di pinggir jalan raya.

Dipikulnya tiga batang bambu panjang. Di ujung tiap bambu terpasang kincir angin mainan dengan bilah berwarna warni. Merah, kuning, hijau.

Zaman sekarang, siapa yang mau membeli mainan kuno semacam itu? pikirku.

Aku mengkhawatirkan lelaki tua itu, tapi hanya sambil lalu.

Continue reading “[Fiksi] – Kincir Angin”

[Fiksi] – Sang Mualim

Pagi itu sang mualim dibangunkan oleh semburat sinar matahari dari sela-sela jendela kabin. Setelah mengerjap beberapa kali, dia bangun sambil menggaruk kepala. Sang mualim kemudian membuka tirai penutup jendela, membiarkan cahaya menerangi ruangan mungil yang menjadi tempatnya tidur setiap malam.

Setelah meregangkan tubuhnya yang pegal-pegal karena harus tidur dengan posisi meringkuk, dia berpakaian dan berjalan keluar dari kamarnya.

Continue reading “[Fiksi] – Sang Mualim”

[Fiksi] – Getihwesi (II)

Astri merasakan tubuhnya ditarik tiba-tiba. Dia menoleh. Di belakangnya berdiri seorang pria muda yang mengenakan setelan beskap[1]. Pria itu bermata teduh dengan kulit putih pucat. Usia pria itu mungkin hanya beberapa tahun lebih tua daripada dirinya. Setelah menarik tubuh Astri, dia mengeluarkan sapu tangan putih dan mengelap jemari Astri yang basah dengan noda berwarna merah.

“Mbak, air hujan merah ini berbahaya jika tidak segera dibersihkan,” ujar pria itu. Suaranya ternyata sehalus dan selembut sorot matanya. “Perkenalkan, saya Pringadi, Kepala Desa Getihwesi. Mas Mo, tolong antar Mbaknya ini diantar cuci tangan,” perintahnya.

Continue reading “[Fiksi] – Getihwesi (II)”