#26 – Home Sweet Home (1)

Sewaktu kecil, tak pernah terpikir sedikitpun kalau saya akan pergi dari Bandung. Dalam angan-angan, yang selalu terbayang adalah saya akan menjalani masa-masa sekolah, jatuh cinta, kuliah, bekerja, menikah, berkeluarga, pensiun, lalu dimakamkan di kota itu. Selayaknya stereotip yang menempel pada masyarakat Jawa Barat, orang sunda enggan merantau.

Kenyataannya, semenjak lulus SMA saya tidak pernah lagi benar-benar tinggal di Bandung. Saat kuliah saya hanya mengunjungi Bandung saat-saat liburan semester. Setelah lulus, saya malah hanya mengunjungi kota itu setiap libur lebaran atau libur akhir tahun.

Bidang pekerjaan yang geluti menuntut saya berpindah dari satu kota ke kota lainnya setiap beberapa tahun sekali. Memaksa saya untuk terbiasa menjadi penghuni kostan, rumah dinas, dan rumah kontrakan, mungkin hingga pensiun kelak.

Jika dihitung semenjak keluar dari Bandung pada tahun 2008 hingga 2022, total saya sudah menempati kurang lebih 15 hunian yang berbeda. Dari sekian banyak hunian tersebut, ada beberapa tempat yang saya kira cukup berkesan dan membekas di ingatan.

Inilah kisahnya.

Continue reading “#26 – Home Sweet Home (1)”

#25 – Kisah Satu Dasawarsa

Ada cukup banyak hal yang terjadi pada tahun 2011. Saya lulus kuliah, menjadi pengangguran karena moratorium, kenalan dengan bang Noor. H. Dee di forum Sindikat Penulis, galau karena terlalu lama melajang, membuat konsep awal platform menulis sipenulis.com, dan juga menyelesaikan Novel fiksi sains remaja yang berjudul Sense.

Continue reading “#25 – Kisah Satu Dasawarsa”

#24 – Pilihan

11 November 2020, kala sedang menumpang kapal yang tengah menyebrangi Selat Sunda, ponsel saya tiba-tiba bergetar. Saya yang sedang duduk bersantai di dek atas, beringsut ke sisi kapal, menyingkir dari keriuhan canda dan obrolan penumpang lain.

Ada pesan masuk dari seorang kawan seangkatan. Isinya lugas, menawarkan kesempatan untuk ikut seleksi tertutup sebuah tim (kita sebut tim A). “Supaya bisa kembali ke Jakarta bareng keluarga,” ajak kawan saya itu.

Continue reading “#24 – Pilihan”

#23 – Shedding Persona

Tiap-tiap diri kita memiliki banyak topeng.

Saya baru menyadari hal itu di usia 21 tahun, dari gurauan seorang kawan kuliah kala dia melihat ada mahasiswa yang seperti berpura-pura bersikap ramah kepada orang yang tidak disukai / berusaha mencari muka di hadapan dosen.

“Hati-hati itu topengnya jatuh,” celetuknya tiap kali melihat pemandangan itu.

Continue reading “#23 – Shedding Persona”

#22 – Kalimongso dan Lorong-lorong Sunyi

Beberapa waktu yang lalu, pembicaraan tentang stress, anxiety, dan safe place di sekitar saya kembali terjadi. Bagai fenomena bapak-bapak berumur yang gemar membicarakan penyakit yang dimiliki satu sama lain, generasi milenial dan 90an di sekitar saya mulai gemar membicarakan tentang stress dalam pekerjaan dan keseharian mereka.

Sebagaimana diungkap dalam berbagai sumber dan penelitian, membagi masalah dan stress kepada teman adalah salah satu cara untuk mengurangi stress di dalam diri kita.

Dengan membicarakannya, berarti kita menerima kenyataan bahwa kondisi mental kita memang sedang tidak bagus. Mengakui adanya masalah adalah langkah pertama untuk mengatasi masalah itu. Dengan membicarakannya juga berarti kita bisa membangun support system satu sama lain yang bisa mengawasi dan menjauhkan diri kita dari depresi.

Namun kita memang harus pandai-pandai mencari orang yang akan kita ajak bicara. Jangan sampai satu-satunya hal yang keluar dari mulut lawan bicara kita adalah ceramah dan judgement tentang lembeknya mental dan kurangnya iman kita.

Continue reading “#22 – Kalimongso dan Lorong-lorong Sunyi”

#21 – Plan the Unplannable: How to Financially Prepare Having A Baby in Pandemic Time, and More.

Bagi kalian yang sibuk dan ingin tahu kesimpulan akhirnya; caranya dengan menabung

Otherwise, this is the complete story. 

Continue reading “#21 – Plan the Unplannable: How to Financially Prepare Having A Baby in Pandemic Time, and More.”

#20 – Days of Manic Pixie Dream

Kala pertama kali menonton film 500 Days of Summer tahun 2010 silam, saya sebagai pria merasa sangat senang dan terwakili. Visualisasi galau dan jatuh bangunnya Tom Hansen dalam mengejar Summer Fin terasa sangat personal dan sangat nyata. Termasuk bagian ending saat Summer memutuskan untuk menikah dengan pria lain yang belum lama dia kenal.

Setelah menonton itu saya berkesimpulan bahwa walaupun seorang pria sudah berupaya maksimal dan habis-habisan seperti Tom, pada akhirnya ada perempuan seperti Summer yang mengabaikannya dan memilih untuk bersama dengan orang lain.

Terkadang, secantik dan semenarik apapun perempuan, bisa jadi dia brengsek.

Continue reading “#20 – Days of Manic Pixie Dream”

#19 – Semangat Belajar

Saat berkunjung ke Bangkok pada tahun 2014, ada sebuah tempat yang sangat ingin saya kunjungi.

Tempat itu bukan Grand Palace, Wat Arun, maupun Flower Market, tetapi Masjid. Di kota dengan ratusan kuil megah ini, saya ingin tahu apakah ada masjid yang tak kalah megahnya.⁣

Niat tinggalah niat. Karena sibuk mengunjungi lokasi wisata yang lain, sampai hari terakhir di Bangkok saya tidak sempat menuntaskan niat menjelajah masjid-masjid di Bangkok.

Saya hanya sempat berkunjung ke satu masjid.⁣

Continue reading “#19 – Semangat Belajar”

#18 – Latte Factor

Teori Latte Factor dipopulerkan oleh David Bach, seorang Financial Expert berkebangsaan Amerika Serikat.

Latte Factor merujuk kepada kebiasaan sebagian orang dalam membelanjakan uang (dengan jumlah yang dirasa tak seberapa) namun secara rutin.

Continue reading “#18 – Latte Factor”

#17 – Mendefinisikan Kebahagiaan

Maret 2015, tak lama setelah batal menikah, saya pergi backpacking ke Jepang.⁣

Berbekal sebuah buku guide terbitan tahun lawas dan uang tunai seadanya, saya dan satu orang kawan menyusuri jalur darat Tokyo – Kyoto – Osaka selama kurang lebih 10 hari.⁣

Continue reading “#17 – Mendefinisikan Kebahagiaan”