Astri terisak. Dia meringkuk di dalam sebuah ceruk kecil di bibir tebing. Kakinya terasa ngilu karena dipaksa berlari, Bagian lengan dan kakinya yang tidak tertutup pakaian perih karena tergores oleh duri dan ranting-ranting pohon. Astri masih berusaha untuk mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi. Kenapa tiba-tiba Yanti ingin membunuhnya?

Pelan-pelan matanya melirik ke arah Yanti. Sejauh ini tubuh Yanti masih terkapar tak bergerak. Darah segar tampak mengalir dari pelipisnya, merembes ke permukaan tanah dan rerumputan. Astri tak ingin tahu Yanti masih hidup atau sudah mati, dia tak peduli. Dia hanya ingin segera pergi dari tempat ini.

Namun dia tidak bisa gegabah bergerak. Astri melirik ke depan. Beberapa meter dari ceruk tempatnya meringkuk, sesosok pria tampak berdiri mematung. Astri hanya bisa melihat sebagian dari tubuh pria itu, sebagian lainnya tersembunyi di balik bayangan pepohonan. Tapi Astri tahu pasti siapa pria itu.

Pria itu adalah Wawan, orang yang disebut ‘miring’ oleh Kusumo.

Beberapa saat yang lalu dari kejauhan Wawan menyambit Yanti dengan sebongkah batu kali, tepat mengenai pelipisnya. Yanti seketika tumbang bercucuran darah. Astri pada awalnya merasa lega karena telah diselamatkan, tapi dia segera menyadari bahwa dia tak tahu motif tindakan Wawan menyambit Yanti. Bisa jadi dia adalah target Wawan selanjutnya.

Asti menelan ludah, saat ini dia hanya bisa menunggu. Di depan sana Wawan masih terus berdiri mematung. Kedua mata Wawan yang tampak tajam menatapnya. Wajahnya nyaris tanpa ekspresi apapun. Bahunya naik turun, dia tampak terengah-engah.

Entah berapa lama mereka berdua terpaku. Tak bergerak dan bersuara sedikitpun. Yang jelas sepertinya cukup lama, hingga Astri mulai menyadari bahwa seisi hutan di sekelilingnya menjadi semakin sunyi. Tak ada suara angin berhembus dari atas gunung. Tak ada gemerisik dedaunan yang saling bergesekan. Tak ada suara kicauan burung dan serangga. Hutan menjadi sunyi, terlalu sunyi.

Jantungnya Astri mulai berdegup dengan kencang. Akan ada sesuatu yang terjadi, pikirnya. Sesuatu yang sangat buruk.

Astri tak bisa tinggal diam lebih lama lagi. Dia mengusap air mata dan ingus dari wajahnya. Sambil terus menatap ke arah Wawan, dia meraba ke depan, meraih parang yang tergeletak di dekat Yanti. Saat dia melihat tubuh Wawan bergerak, Astri langsung mengacungkan parang itu ke hadapannya.

“Jangan macam-macam!” jeritnya. Parang itu bergetar, beresonansi dengan getaran dari tangan dan tubuhnya.

Wawan mengangkat tangan sambil menggelengkan kepala. “Jangan takut, aku tak punya niat buruk,” ujarnya. Nada dan gaya bicaranya berbeda sekali dengan Wawan yang dia temui di depan gerbang Getihwesi.

“Jangan bohong!” balas Astri. Dia mengumpulkan seluruh tenaganya yang tersisa untuk bangkit berdiri, dan mulai berjalan mundur, menjauh. Pandangan dan tangannya masih terus mengarah ke arah Wawan.

“Kalau kamu kembali ke desa, mereka akan membunuhmu!” seru Wawan. “Padahal sudah kuperingatkan kalian agar pulang dan jangan masuk ke desa ini, tapi kalian enggak dengar,” lanjutnya.

Astri tak memedulikan ucapan Wawan. Dia hanya ingin segera pergi dari tempat terkutuk ini. Setelah merasa cukup aman, dia berbalik dan mulai berlari.

“Astri, tunggu!”

Tanpa berhenti berlari, Astri menoleh. Dari kejauhan tampak Wawan sedang berlari mengejarnya.

“Jangan mendekat!” teriak Astri lantang.

Astri berlari sekuat tenaga, tapi Wawan jauh lebih cepat. Dalam waktu singkat dia sudah berada di belakangnya. Wawan kemudian melompat, menerjang Astri hingga mereka berdua terguling-guling di tanah. Belum sempat Astri bangkit, Wawan sudah mengambil parangnya dari tanah.

“Dengar dulu!” bentak Wawan. “Aku sedang berusaha menolong kalian. Yanti memang sudah tidak bisa diselamatkan, tapi kamu dan Rendy masih bisa keluar dari tempat ini,” ujarnya sambil melemparkan parang ke tanah.

“Yanti enggak bisa diselamatkan karena kamu menimpuknya dengan batu,” jawab Astri.

“Dia sudah terkena teluh Pringadi. Terlambat.”

Astri tergeletak di tanah, kelelahan. “Saya enggak ngerti lagi. Sebenarnya apa yang sedang terjadi?” bisiknya lemas.

“Akan kujelaskan. Tapi jangan di sini. Saat mereka tahu bahwa Yanti gagal mengambil nyawamu, mereka akan mulai turun tangan sendiri.”

“Mereka itu siapa?”

“Seluruh penduduk desa ini,” jawab Wawan.

Dia kemudian membantu Astri berdiri. Dia mengambil parang dari tanah dan mengembalikannya ke genggaman Astri. Gadis itu hanya terdiam, linglung.

“Tapi … kenapa kau menolongku? Kau kan bagian dari mereka?” tanyanya ragu-ragu.

Wawan menatapnya dengan lekat, “Anggap saja sebagai penebus rasa bersalahku karena tidak bisa menyelamatkan kakakmu.”

*

Mereka berdua berjalan menembus semak belukar, menjauhi jalan setapak. Semakin lama, medan yang mereka tempuh semakin terjal. Melewati pinggir jurang dan tebing tinggi. Setelah berjalan sekitar dua puluh menit, mereka tiba di sebuah padang rumput yang cukup datar.

“Ke mana kita?” tanya Astri.

Wawan menunjuk ke arah langit yang terlihat semakin gelap. Awan yang berwarna kemerahan bergulung-gulung di atas sana. “Kita harus berlindung sebelum hujan merah turun. Di atas sana ada sebuah gua, bekas tempat memanen sarang walet, sekarang sudah ditinggalkan dan tak lagi dikunjungi.”

Setelah berjalan lagi selama beberapa menit, mereka tiba di tempat yang disebut Wawan sebagai mulut gua. Astri tidak terlalu yakin, karena lubang itu cukup sempit, hanya bisa dimasuki oleh satu orang. Wawan masuk terlebih dahulu, disusul oleh Astri. Di dalam gua itu gelap, hanya ada satu dua semburat cahaya masuk dari rongga di bagian depan dan atas gua.

Setelah menemukan tempat yang cukup luas dan kering, mereka berdua duduk. Tak lama berselang, suara petir terdengar keras, menyambar entah apa di dekat mereka. Setelah itu bau darah mulai tercium, disusul dengan suara tetesan hujan.

Astri seketika merasa mual. Dia kembali teringat pemandangan darah, tangan terpotong, serta Yanti (atau makhluk menyerupai Yanti?) yang mengejar-ejarnya. Untuk menyembunyikan rasa mualnya, dia terbatuk-batuk, kemudian menutup hidung dan mulutnya dengan sebelah tangan.

“Hari ini adalah hari ke-lima. Kamu harusnya mati hari ini,” ujar Wawan tiba-tiba. Kedua matanya nanar menatap bagian atas gua.

Astri menggeleng-gelengkan kepala, “saya enggak ngerti. Coba jelaskan semuanya dari awal.”

“Akan panjang sekali jika harus kuceritakan. Tapi yang jelas, apapun yang kemarin dijelaskan oleh Pringadi dan Kusumo, sebagian besarnya omong kosong. Kejadian yang kalian alami dari kemarin bukan hal yang ilmiah, semuanya adalah hal gaib. Kutukan Gunung Laduwesi. Setiap tiga tahun sekali Laduwesi terbangun. Dan selama tujuh hari setelah dia bangun, Laduwesi meminta tumbal nyawa.”

“Tiga tahun sekali …, jadi Winda, benar datang ke tempat ini tiga tahun yang lalu?” tanya Astri.

“Ya. Kakakmu dan enam orang lainnya telah menjadi tumbal bagi Laduwesi.”

“Tapi, kenapa harus Winda? Kenapa harus saya? Apa salah kami?”

Wawan mengangkat bahu. “Laduwesi selalu mencari tumbalnya sendiri. Setiap tiga tahun selalu ada tujuh orang asing yang tiba-tiba datang ke desa. Tugas kami hanyalah membuat mereka tetap berada di desa. Memandu dan memastikan mereka mati saat Laduwesi bangun. Penduduk Getihwesi adalah para pelayan setia Laduwesi.”

“Ini enggak bener … Kalian harusnya bisa menghentikan semua ini,” ujar Astri.

“Itulah yang aku coba lakukan tiga tahun yang lalu. Aku mencoba untuk Winda kabur. Sayang usahaku digagalkan Kusumo, dan aku dihukum berat karenanya. Aku baru dilepaskan saat aku pura-pura menjadi orang sinting.”

“Kenapa kamu ingin menyelamatkan Winda?”

Wawan tidak menjawab. Dia hanya duduk sambil meremas-remas jemarinya dengan kencang.

“Apa kamu sadar bahwa di desa ini tidak ada anak kecil?” tanyanya.

“Eh?” Astri terkejut, dia baru menyadari bahwa sejak menginjakan kaki di desa ini dia hanya melihat orang dewasa dan lansia.

“Menjadi pelayan Laduwesi adalah tugas tanpa akhir. Hidup kami sepenuhnya adalah milik Laduwesi. Selama Laduwesi hidup, kami akan terus hidup. Kami tak memerlukan keturunan karena kami tak bisa mati. Tapi kedatangan Winda membuat semuanya berubah. Untuk pertama kalinya aku merasakan sesuatu selain perasaan harus mengabdi. Aku mencintai kakakmu.”

Astri kembali menggeleng-gelengkan kepala. “Saya enggak bisa percaya begitu aja,”

Wawan menghela napas, kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya. Dia menyerahkan benda itu ke dalam genggaman Astri. Astri membuka telapak tangannya. Wawan memberikan sebuah cincin, tepatnya, Cincin emas yang sering dipakai Winda.

Seketika tubuhnya terasa semakin lemas. Astri kemudian menyodorkan cincin itu kembali kepada Wawan. Tapi Wawan menggeleng. “Simpan saja, bawa itu pulang agar keluargamu tidak mencari-cari Winda lagi.”

“Sekarang apa yang harus saya lakukan?”

“Aku akan membawamu keluar dari desa. Tapi nanti setelah hujan merah reda. Saat ini Bratalaha sedang berkeliaran, bisa-bisa kita celaka kalau bertemu dengan makhluk itu.

“Apa itu Bratalaha?”

“Algojo Laduwesi. Makhluk halus setengah manusia setengah kadal. Dia datang untuk memastikan setiap hari ada satu tumbal yang mati.”

***

Bagikan
Ikuti
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
Lihat semua komentar
0
Beri Komentarx
()
x