Milo sedang menyeduh secangkir kopi ketika menyadari layar monitornya berpendar. Milo menoleh, tapi dia tampak ragu-ragu. Dia menelengkan kepalanya sedikit, sembari memperhatikan kerlap-kerlip cahaya yang muncul di layar monitor. Milo ingat bahwa terakhir kalinya benda itu berpendar adalah 58.347 hari yang lalu. Jadi bisa dibilang sudah cukup lama.
Setelah yakin bahwa apa yang dilihatnya bukan halusinasi, Milo meletakan cangkir kopinya di atas meja. Dia bergegas duduk di kursi, lalu menekan beberapa tombol. Layar monitornya seketika menampilkan sesuatu; foto seorang wanita.
Wanita dalam gambar itu berwajah lancip. Pipinya agak tirus, kulitnya putih, dengan rambut lurus sebahu berwarna keemasan. Matanya terlihat cerah, dengan iris berwarna biru terang. Wanita itu menyunggingkan senyuman tipis. Secara umum, bagi Milo, bisa dibilang bahwa wanita itu masuk ke dalam kategori wanita cantik.
Milo berdehem, memastikan suaranya tidak serak. Dia lalu menggerakan sebuah tuas yang mengatur pintu masuk.
“Selamat datang di Taman Tamasya Tak Hingga. Silakan masuk.” seru Milo penuh semangat.
Dari balik pintu, terlihat wanita itu mengintip ke dalam ruangan. Dari gerak-geriknya, Milo tahu wanita itu ragu-ragu.
“Ayo, masuk saja, tidak usah takut,” bujuk Milo.
Wanita itu mengangguk singkat, kemudian masuk ke dalam. Dia mengenakan gaun satin berwarna biru, senada dengan warna matanya. Dilihat dari dekat, bentuk tubuh wanita itu juga ideal. Sesuai standar negara, batin Milo, mengutip slogan yang selalu dia dengar, dan dia ucapkan.
Wanita itu tidak langsung menghampiri Milo. Dia melihat ke sekeliling dinding ruangan. Ruangan tempat Milo bekerja memang penuh dengan layar monitor dalam berbagai ukuran. Masing-masing layar menampilkan tayangan yang berbeda-beda.
Di dalam layar itu terlihat orang-orang sedang tertawa riang. Mereka berlarian, memasak, berjalan-jalan, mengemudi, terjun payung, dan kegiatan-kegiatan menyenangkan lainnya.
“Anda bisa memilih tayangan yang manapun,” celetuk Milo.
“Ada … banyak sekali tayangan. Apa selain ini masih ada lagi?” tanya wanita itu tanpa menoleh.
“Tentu saja,” jawab Milo. “Jumlahnya tak terhingga,” lanjutnya.
“Sama dengan nama tempat ini, ya,” wanita itu terkekeh.
“Kalau tidak keberatan, silakan duduk. Kita bisa mengobrol sebentar, atau lama juga tidak apa-apa. Aku punya banyak waktu luang,” ujar Milo sambil menunjuk kursi yang berada di depan meja kerjanya.
Wanita itu kemudian duduk di hadapan Milo. Dia masih terus tersenyum.
“Kopi? Teh? Susu?” tawar Milo sambil bergerak dengan cepat ke arah pantri.
“Kopi saja, tanpa gula. Anu … bisakah aku membuat tayanganku sendiri?” tanya wanita itu.
Milo kembali dengan membawa dua cangkir kopi. Dia meletakan satu cangkir di hadapan wanita itu.
“Sebentar, mari kita pastikan data-data yang kami miliki benar,” kilah Milo. Dia menekan beberapa tombol, membuka profil identitas dari wanita di hadapannya.
“Nomor #486, usia per hari ini 875 tahun 4 bulan 26 hari, benar?”
“Aku lebih senang dipanggil Delilah,” jawabnya.
“Kebetulan sekali, aku juga lebih senang dipanggil Milo daripada #6.598. Tapi memang rasanya tak ada orang yang suka dipanggil dengan nomor seri mereka, ‘kan? Rasanya seperti …,”
“Ditelanjangi?” Delilah terkekeh.
“Aku mau bilang dikuliti, tapi ditelanjangi juga sepertinya cocok,” Milo ikut terkekeh. “Baik Nona Delilah, silakan dekatkan kedua mata Anda ke dekat alat ini sebentar, dan jempol kanan Anda ke atas alat kecil itu.” ujar Milo sambil menunjuk beberapa alat elektronik yang berada di atas mejanya.
“Kau belum menjawab pertanyaanku yang tadi,” tukasnya.
“Setelah ini, aku janji.”
“Haruskah ini?” dengus wanita itu. “Kupikir semua identifikasi sudah selesai di luar sana. Toh sudah tak banyak manusia yang tersisa, ‘kan?”
“Prosedur ini sesuai standar negara,” Milo mengedik. Walaupun yang dikatakan Delilah itu benar, tapi dia tetap suka melakukan semuanya sesuai dengan aturan.
Delilah terlihat enggan, tapi dia menurut. Wanita itu mendekatkan kedua matanya ke dalam alat yang berbentuk mirip dengan mikroskop. Sementara jempol tangan kanannya diletakan di atas sebuah kotak transparan. Kotak itu berfungsi untuk mengecek DNA dan sample darahnya.
“Karena nomor serimu lebih besar, boleh kupanggil Milo saja?” tanya Delilah.
“Tentu,” ujar Milo. Dia sama sekali tak keberatan, toh usia mereka memang terpaut cukup jauh. “Tolong jangan banyak bergerak dulu Nona Delilah. Jangan khawatir, ini cuma sebentar, dan tidak sakit sama sekali,” lanjutnya.
Setelah proses identifikasi selesai, Milo mengajak Delilah ke bagian tengah ruangan. Delilah dipersilakan duduk di sebuah sofa empuk berwarna abu-abu. Milo menyempatkan untuk menyesap kopi sedikit, sebelum akhirnya mulai berbicara.
“Menjawab pertanyaan tadi, tentu saja Nona bisa membuat tayangan sendiri. Memangnya tayangan seperti apa yang Nona inginkan?”
Delilah mengangkat bahu. “Biasanya orang-orang ingin tayangan seperti apa? Aku tahu itu pasti rahasia, tapi maksudku, secara garis besarnya saja.”
“Hmm … pertanyaan yang paling sering ditanyakan, tapi paling sulit dijawab. Begini, yang jelas semua yang datang ke sini tentu ingin tayangan mereka menyenangkan. Nah yang dimaksud dengan ‘menyenangkan’ itu tentu berbeda-beda. Ada nuansa dan rasa yang unik dalam setiap tayangan. Ada hal-hal yang sangat personal. Kadang ada yang ingin kembali ke masa kecil mereka, ada yang ingin bertualang ke negeri-negeri asing, ada yang ingin berkumpul kembali bersama keluarganya, ada juga yang ingin mengulang-ulang momen terindah dalam hidup mereka. Bagaimana dengan anda, Nona Delilah, apa saja hal yang menurut Anda menyenangkan?”
“Hal yang menyengangkan, ya … Apa tidak ada yang meminta hal-hal menakutkan?”
“Tentu saja ada, tapi tidak banyak. Seperti yang kubilang tadi, standar ‘menyenangkan’ itu sangat bervariasi. Nah, kami juga tidak memiliki sensor. Semelenceng dan seekstrem apapun, jika itu yang Anda inginkan, bisa kami sediakan.
“Tidak … tidak, aku tidak mau yang seperti itu,” Delilah menggeleng.
“Biasanya orang yang datang ke sini sudah yakin dengan tayangan yang mereka pilih. Atau setidaknya mereka menyiapkan beberapa pilihan, Apa Nona sudah yakin untuk masuk ke Taman Tamasya Tak Hingga?”
Delilah mengangguk. “Aku sudah lelah, Milo. Rasanya 800 tahun sudah cukup lama, bukan?”
“Mungkin juga. Tapi kurasa memang sebagian besar nomor seri di bawah #1.000 sudah masuk ke Taman.”
“Kalau suatu hari nanti kau masuk ke Taman, tayangan seperti apa yang kau inginkan, Milo?” kali ini giliran Delilah yang menyesap kopinya.
Milo menyandarkan tubuhnya ke sofa. Sekian lama bekerja di tempat ini, tentu saja Milo sudah sering membayangkan tentang tayangan seperti apa yang dia inginkan kelak.
“Aku punya beberapa ide. Tapi jujur saja, aku belum yakin dengan ide-ide itu.”
“Ide-ide seperti apa itu?”
Milo menggeleng sambil terkekeh. “Nona tak akan mau mendengarnya. Sama sekali tak seru.”
“Ayolah, ceritakan sedikit saja,” bujuk Delilah.
Milo berpikir sebentar, kemudian memutuskan untuk bercerita.
“Yah, aku sudah bekerja di tempat ini lama sekali. Dan negara menugaskan agar aku tetap berada di sini hingga nomor seri terakhir masuk nanti. Jika Nona bilang pekerjaanku ini menjemukan dan membosankan, bisa jadi memang begitu. Tapi rutinitas dan rasa bosan ini sudah jadi bagian dari hidupku. Dan percaya atau tidak, aku menikmatinya.”
“Pada satu titik, rutinitas dan pekerjaan ini menjadi satu-satunya realita yang kau tahu, ya?” ujar Delilah sambil menopang dagu. Dia tampak serius mendengarkan penjelasan Milo.
“Tepat sekali,” Millo mengacungkan jempol. “Aku sudah tak terlalu ingat bagaimana kehidupanku sebelum bekerja di tempat ini. Rasanya samar-samar, seperti mimpi,” lanjutnya.
“Jadi kau ingin membalas semuanya nanti dengan memilih tayangan yang menegangkan dan penuh aksi?” Delilah menyeringai.
“Bisa jadi. Atau malah sebaliknya, aku akan memilih tayangan yang lebih familier, agar aku bisa terus menikmatinya.”
“Kutub pilihan yang ekstrem sekali.” Delilah menghela napas, “sepertinya aku harus memikirkan pilihanku dengan lebih serius,” gumamnya pelan. Dia kemudian berdiri dan kembali melihat-lihat tayangan di layar.
Milo ikut berdiri. Dia menemani Delilah melihat-lihat tayangan di layar, sambil menceritakan kisah-kisah yang berada di dalam tayangan itu. Seiring dengan berjalannya waktu, Delilah semakin terbuka dan banyak menceritakan berbagai kisah hidupnya kepada Milo. Milo dengan senang hati mendengarkan, kemudian memberikan saran pilihan tayangan berdasarkan obrolan mereka.
Menjelang sore hari, akhirnya Delilah memutuskan pilihan tayangannya.
“Biar kupastikan lagi. Nona ingin kembali ke masa remaja, kemudian membuat kehidupan baru yang bahagia bersama dengan cinta pertama Nona, betul?”
“Astaga, kedengarannya aku jahat sekali pada keluargaku yang sekarang, ya?” Delilah tertawa malu-malu.
“Sama sekali tidak. Nona berhak untuk menjadi egois di Taman Tamasya Tak hingga ini, sesuai … “
“Standar negara. Ya, ya, aku tahu.”
Keduanya tertawa bersama-sama. Setelah itu Milo mengantarkan Delilah ke depan sebuah pintu.
“Di dalam sana Nona akan dipandu untuk membuat skenario tayangan sesuai dengan keinginan nona. Santai saja, tidak perlu terburu-buru. Pikirkan berbagai detailnya dengan baik.”
Delilah mengangguk, kemudian berjalan ke arah pintu. Ketika pintu itu terbuka, dia menoleh ke arah Milo.
“Oh ya, satu lagi. Ketika tayangannya habis, apa yang akan terjadi?”
“Tayangannya akan diputar ulang. Jangan khawatir, Nona tidak akan menyadarinya. Karena ingatan Nona juga akan ikut diputar ulang.”
Delilah mengangguk, kemudian menghilang di balik pintu. Milo menatap pintu itu selama beberapa detik sambil tersenyum. “Satu lagi pelanggan yang puas,” gumamnya.
Milo kembali ke meja kerjanya. Ketika hendak meminum kopi, dia menyadari bahwa cangkirnya telah kosong. Milo kemudian pergi ke pantri.
Saat sedang menyeduh secangkir kopi, dia menyadari layar monitornya berpendar. Milo menoleh, tapi dia tampak ragu-ragu. Dia menelengkan kepalanya sedikit, sembari memperhatikan kerlap-kerlip cahaya yang muncul di layar monitor. Milo ingat bahwa terakhir kalinya benda itu berpendar adalah 58.347 hari yang lalu. Jadi bisa dibilang sudah cukup lama.
***
Bandar Lampung, 3 September 2021