Kami menyusuri sebuah lorong yang panjang dan gelap. Penerangan hanya berasal dari satu-dua lampu LED yang berada di langit-langit. Kapten berjalan paling depan sementara Ollie berjaga paling belakang. Di antara mereka berdua aku dan Lewis berjalan beriringan. Aku berjaga dengan extra siaga karena Lewis hanya bisa menggunakan sebelah tangannya.
Continue reading “[Fiksi] – Simbol (Bagian II – Selesai)”Kami berlima meringkuk di balik sebuah tembok beton reruntuhan bangunan peradaban lama. Di seberang sana riuh dengan desingan senapan laser dan dentuman granat antimatter. Tentara Imperium dan Republik perlahan tapi pasti mulai merangsek masuk dan menjadikan tempat ini arena pertempuran.
Negara kecil ini akan segera hancur. Tapi sebelum itu terjadi, kami harus bisa mengambil benda yang menjadi penyebab semua peperangan ini. Sebuah harapan. Sebuah simbol.
Antara kami dan tempat benda itu disimpan, berdiri beberapa buah Crawler, robot-monster setinggi tiga meter. Cakar-cakar mereka berlapis baja, bisa dengan mudah mengoyak dinding beton. Keenam mata mereka berputar liar, mengawasi keadaan sekitar. Punggung mereka berdengung, dengan lubang-lubang yang mengeluarkan asap panas.
Continue reading “[Fiksi] – Simbol (Bagian I)”“Apa ini?” tanya seorang anak sembari menyodorkan selembar kain persegi berwarna hijau dengan tali di kedua sisinya.
Continue reading “[Fiksi] – Rumah”Aku tak pernah membiarkan pacarku membersihkan rumah. Aku takut.
Jika dia dibiarkan bersih-bersih, dia selalu berteriak dan memaki, mengeluhkan bagaimana bisa rumah kami sebegitu kotor dan menjijikannya. Padahal dia sendiri yang selalu membuat rumah kami berantakan.
Dia juga suka melotot dan memukulku kalau aku kedapatan membuang abu atau puntung rokok sembarangan.
Seperti saat ini, aku sangat ketakutan.
Pacarku berdiri di sampingku, kepalanya agak tertunduk, matanya membelalak memelototiku yang sedang mengepel lantai.
“Maaf, maaf, aku akan segera membersihkannya, sayang. Kamu jangan marah.” Gumamku berkali-kali sambil menyeka cairan kental di lantai keramik dengan lap pel.
Tapi genangan darah di lantai yang muncrat keluar dari leher pacarku tak juga bisa dibersihkan.
Lampung, 16 Agustus 2020
Foto Sampul: pan xiaozhen on Unsplash
Aku tak bisa berhenti tersenyum. Dengan lincah jemariku menari, menggores serta melompat-lompat di atas lantai kertas. Menorehkan bait-bait penuh romantisme picisan yang mungkin kalian bilang klise.
Continue reading “[Fiksi] – Catatan”Dasar babi-babi kapitalis. Keluhku dalam hati sore itu. Aku keluar dari dalam gedung tempatku bekerja dengan perut, dompet, serta wajah mengkerut dan kosong. Hari inipun hasilnya nihil.
Continue reading “[Fiksi] – Rezeki”Seumur hidup belum pernah kulihat Oma semarah itu. Urat-urat di lehernya yang kurus tampak timbul, membentuk jalinan sungai berwarna ungu kemerahan.
Continue reading “[Fiksi] – 100 Surat”