Alkisah pada zaman dahulu kala, di sebuah tempat nun jauh di sana, tersebutlah sebuah kerajaan yang masyhur. Sayangnya kerajaan itu dipimpin oleh seorang Raja muda yang pemalas.
Sudah menjadi tradisi turun-temurun di kerajaan itu, bahwa pintu kastel akan dibuka dari pagi hingga siang hari agar penduduk bisa mengadakan pertemuan langsung dengan Sang Raja. Keperluan apapun diperbolehkan. Entah itu menyelesaikan sengketa ladang, meminta sumbangan perak dan emas untuk modal berdagang, berkeluh-kesah tentang tetangga yang usil dan jalanan berlubang yang tak kunjung diperbaiki, meminta Sang Raja memberikan berkat untuk anak-anak mereka agar lulus ujian jadi hulubalang kerajaan, ataupun sekadar bercakap-cakap dan bergosip dengan Sang Raja. Perkara apapun itu, pintu kastel akan selalu terbuka bagi para penduduk.
Setiap harinya, sejak cahaya mentari pertama menyinari menara kastel, di gerbang kastel penduduk kerajaan sudah ramai mengantre. Setiap hari pula Sang Raja muda membuka jendela kamarnya yang berada di menara sambil mengeluh.
“Aduh, tak pernah ada habisnya masalah penduduk kerajaan ini. Kuselesaikan satu hari ini, esoknya bertambah lima.”
Sang Raja selalu mencari cara untuk melarikan diri dari kewajibannya. Dari mulai berpura-pura sakit perut, pura-pura linglung, hingga mencoba kabur keluar istana dengan menyamar menjadi tukang kebun kerajaan. Setiap hari ada saja ulahnya yang membuat Sang Wazir dan seluruh pejabat kerajaan kerepotan.
Sang Wazir bekerja di dekat pintu masuk ruang tahta. Di balik sebuah meja yang dipenuhi dengan tumpukan kertas. Bisa dibilang Sang Wazir adalah orang yang paling sibuk di kerajaan. Setiap kali ada orang yang selesai bertemu dengan Sang Raja, dia akan memberikan selembar kertas kepada orang itu, dan meminta mereka untuk mengisinya.
“Apa ini?” tanya mereka setiap kalinya.
“Angket Kepuasan Layanan Kerajaan. Kami selalu berusaha untuk menjaga tingkat kepuasaan penduduk agar selalu di atas 95%,” jawabnya setiap kali.
*
Continue reading “[Fiksi] – Kisah Raja Pemalas & Angket Sang Wazir”